Sabtu, 15 Oktober 2011

Skripsi


Muhammad Mahsun (NIM : 124012) Perlindungan Hukum terhadap Anak yang Lahir dari Perkawinan Sirri dalam Perspektif Kompilasi HukumIslam (KHI).
Skripsi, Jepara : Fakultas Syari’ah INISNU Jepara, 2009.

Nikah Sirri menjadi persoalan klasik tapi terus menerus diwacanakan. Seringkali keadilan ini dipertentangkan dengan kepastian hukum terhadap kedudukan istri terutama bagi anak yang lahir dari perkawinan ini.
            Islam sangat memperhatikan masalah nasab atau keturunan, dan pernikahan merupakan salah satu syarat bisa mendapatkan keturunan yang sah. Namun belum tentu anak yang lahir dalam pernikahan tersebut sebagai keturunan yang sah. Seorang anak yang dilahirkan dari hasil nikah sirri tersebut tetap sah secara agama, akan tetapi secara hukum negara Republik Indonesia jelas belum diakui, dan anak dari hasil nikah sirri akan lemah kedudukannya di depan hukum bahkan tidak dapat menuntut karena tidak mempunyai bukti-bukti yang sah secara hukum.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode riset perpustakaan (library research) dengan teknik Analisisi Deskriftif Kualitatif.  Data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan pendekatan induktif dan deduktif.  Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa problematika yang ditimbulkan dari perkawinan sirri sangatlah kompleks bagi istri dan anak yang dilahirkannya, baik secara hukum maupun sosial. Terhadap anak, tidak sahnya perkawinan sirri menurut hukum negara memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum, yakni: Status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Artinya, si anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya. Di dalam akte kelahiran statusnya dianggap sebagai anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya. Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak tercantumnya nama si ayah akan berdampak sangat mendalam secara sosial dan psikologis bagi si anak dan ibunya.   Selain itu ketidakjelasan status si anak di muka hukum, mengakibatkan hubungan antara ayah dan anak tidak kuat, sehingga bisa saja, suatu waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut adalah anak kandungnya. Yang jelas merugikan adalah, anak tidak berhak atas biaya kehidupan dan pendidikan, nafkah dan warisan dari ayahnya. Akan lebih kompleks lagi masalahnya jika ikatan perkawinan sirri tersebut telah putus (cerai).
Untuk melindungi hak-hak istri dan anak dalam pernikahan sirri, ada beberapa jalan keluar (solusi) yang akan Penulis kemukakan sebagai berikut: Istbat nikah ke PA; Tajdidun Nikah, mencatatkan perkawinan sirri yang belum lama terjadi ke PPN; Apabila suami tidak bertanggung jawab, istri dapat menuntutnya dengan UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; antara suami dan istri membuat semacam surat perjanjian diatas materai bahwa mereka telah menikah sirri yang ditandatangani penghulu, wali dan para saksi.
Berdasarkan penelitian ini diharapkan akan menjadi bahan informasi dan masukan bagi mahasiswa, para tenaga pengajar, para peneliti dan semua pihak yang membutuhkan dilingkungan Fakultas Syari’ah INISNU Jepara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar